Kamis, 18 Agustus 2011

Tipe Hubungan Perkawinan

Boleh jadi Anda terheran-heran, si A dan si B yang selama ini kelihatannya selalu mesra ternyata perkawinan mereka bubar di tengah jalan hanya setelah 3 tahun menjalani biduk perkawinan. Sementara pasangan lain, sebut saja Bu C dan Pak D yang terkenal hobi ribut ternyata malah merayakan ulang tahun ke-30 perkawinan mereka. Apa yang menyebabkan kedua pasangan suami istri tadi memiliki rentang usia perkawinan yang berbeda?

Jawaban dari pertanyaan tersebut terpulang pada alasan/pertimbangan mengapa dulu mereka memilih pasangan masing-masing. Jawabannya pasti berbeda-beda. Ada yang menikah dengan alasan ekonomi agar kelangsungan hidupnya secara finansial terjamin. Tak heran kalau ada banyak orang yang pertimbangan utamanya adalah kekayaan calon pasangan.

Ada juga pertimbangan lain, seperti ingin mendapat keturunan, demi status sosial, atau semata-mata demi cinta dan sebagainya. Namun alasan yang paling mendasari keputusan seseorang untuk menikah umumnya adalah untuk memiliki teman hidup yang dicintai (companionship). Tujuan ini membuat yang bersangkutan merasakan kebahagiaan hidup bila menemukan kepuasan dalam relasi perkawinannya. Sayangnya, tidak semua orang yang memiliki tujuan tadi mampu meraihnya dengan cara serupa dan dalam tingkat pencapaian yang relatif sama pula. Hal ini ditentukan oleh pola hubungan mereka dalam perkawinan yang selanjutnya disebut tipe perkawinan.

Cuber & Harroff secara khusus mengadakan survei terhadap 100 pasangan yang telah menikah lebih dari 5 tahun dan perkawinan mereka tidak dirundung masalah serius yang diperkirakan berakhir dengan perceraian. Perkawinan mereka umumnya termasuk dalam kategori puas dan stabil, memiliki komitmen yang kuat terhadap perkawinan meski kadang-kadang menghadapi konflik, ketidaksepakatan dan pertengkaran yang mengundang stres. Sebaliknya, perkawinan yang berakhir dengan perceraian atau dililit masalah pelik biasanya memiliki relasi yang tidak memuaskan dan tak stabil yang ditandai dengan adanya konflik berkelanjutan dan keinginan saling menyakiti.

Nah, berdasarkan studi tadi, Cuber & Harroff lantas mengklasifikasi pasangan-pasangan tersebut dalam tipe-tipe perkawinan conflict habituated, devitalized, passive-congenial, utilitarian, vital, dan total. Apa dan bagaimana masing-masing tipe perkawinan tadi, ikuti ulasan selanjutnya dari Dra. M.M.Nilam Widyarini, M.Si.sebagai narasumber kami.



PENYESUAIAN DIRI

Dengan mengamati relasi Anda dalam perkawinan untuk kemudian mencocokkannya dalam tipe-tipe yang disebutkan di atas, bukan berarti kita lantas pesimis bila ternyata tipe perkawinan kita cenderung rawan konflik. Justru sudah saatnya kedua belah pihak introspeksi diri guna mengupayakan kebahagiaan perkawinan yang telah mereka bina. Di antaranya Kesediaan menerima hal yang kurang mengenakkan kesediaan menyesuaikan peran, menyesuaikan komunikasi saat konflik, menyesuaikan diri dalam kehidupan seks, sekaligus keberanian mengantisipasi perubahan-perubahan. Bukankah setiap orang pada dasarnya memiliki dinamika tersendiri alias selalu berubah?


TIPE-TIPE PERKAWINAN


1. Conflict-habituated

Tipe conflict-habituated boleh dibilang sebagai "partner in crime". Tipe ini adalah tipe pasangan yang jatuh dalam kebiasaan mengomel dan bertengkar tiada henti. Kebiasaan ini menjadi semacam "jalan hidup" bagi mereka. Tak heran kalau secara konstan mereka selalu menemukan ketidaksepakatan. Dengan kata lain, stimulasi perbedaan individu dan konflik justru mendukung kebersamaan pasangan tersebut.


2. Devitalized

Tipe hubungan devitalized merupakan karakteristik pasangan yang sekali waktu dapat mengembangkan rasa cinta, menikmati seks, dan satu sama lain saling menghargai. Namun mereka cenderung merasakan kehampaan hidup perkawinan kendati tetap berada bersama-sama. Soalnya, kebersamaan mereka lebih karena dorongan demi anak atau citra mereka dalam komunitas masyarakat. Menariknya, pasangan tipe ini tak merasa dirinya maupun perkawinannya tidak bahagia. Mereka berpikir bahwa kondisi saat ini merupakan hal biasa setelah berlalunya tahun-tahun penuh gairah. Ironisnya, tipe perkawinan inilah yang paling banyak ditemukan dalam masyarakat mana pun.


3. Passive-congenial

Pada dasarnya pasangan tipe passive-congenial memiliki kesamaan dengan pasangan tipe devitalized. Hanya saja kehampaan yang dirasakan telah berlangsung sejak awal perkawinan. Boleh jadi karena perkawinan seperti ini biasanya berangkat dari berbagai pertimbangan ekonomis atau status sosial dan bukannya relasi emosional. Seperti halnya pasangan tipe devitalized yang minim keterlibatan emosi, pasangan passive-congenial juga tidak terlalu berkonflik, namun kurang puas menjalani perkawinannya. Dalam keseharian, pasangan-pasangan tipe ini lebih sering saling menghindar dan bukannya saling peduli.


4. Utilitarian

Berbeda dengan tipe-tipe lain, tipe utilitarian lebih menekankan peran ketimbang hubungan. Misalnya, peran sebagai ibu, sebagai ayah ataupun peran-peran lain. Terdapat perbedaan sangat kontras bila dibandingkan dengan tipe vital dan total yang bersifat intrinsik, yaitu mengutamakan relasi perkawinan itu sendiri.


5. Vital

Cirinya, pasangan suami-istri terikat satu sama lain, terutama oleh relasi pribadi antara yang satu dengan yang lain. Di dalam relasi tersebut, satu sama lain saling peduli untuk memuaskan kebutuhan psikologis pihak lain. Mereka berdua pun saling berbagi dalam melakukan berbagai aktivitas kendati masing-masing individu memiliki identitas kepribadian yang kuat. Yang mengesankan, komunikasi mereka mengandung kejujuran dan keterbukaan. Kalaupun mengalami konflik biasanya lantaran ada hal-hal yang sangat penting. Untungnya, baik suami maupun istri saling berupaya menyelesaikannya dengan cepat dan bijak. Tentu saja tipe ini merupakan tipe relasi perkawinan yang paling memuaskan. Tak heran kalau tipe ini paling sedikit persentasenya dalam masyarakat.


6. Total

Tipe ini memiliki banyak kesamaan dengan tipe vital. Bedanya, pasangan ini sedemikian saling menyatu hingga menjadi "sedaging" (one flesh). Mereka selalu dalam kebersamaan secara total yang meminimalkan adanya pengalaman pribadi dan konflik. Akan tetapi tidak seperti pasangan tipe devitalized, kesepakatan di antara mereka biasanya dibangun demi hubungan itu sendiri. Sayangnya, tipe perkawinan seperti ini sangat jarang.


disadur dari : informasi

Mitos Tentang Ayah

Ayah era dulu digambarkan sebagai ayah yang melulu mencari nafkah di luar rumah lalu pulang membawa uang untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Mereka hanya meluangkan waktu sedikit untuk anak-anak. Tapi itu dulu.

David J. Eggebeen dan Chris Knoester, dua psikolog keluarga dalam bukunya Does Fatherhood Matter For Men (Willeys Book, Los Angeles, USA 2000) memaparkan banyak pencitraan tentang pria masa kini yang masih berasumsi dari mitos-mitos kebapakan generasi sebelumnya. Padahal ayah-ayah sekarang berbeda. Mereka sadar betul bahwa ayah adalah sosok yang sama pentingnya dengan ibu bagi anak.


Mitos 1: Ketika bayi, anak tidak memerlukan ayah.

Fakta: Marcus Jacob Goldman, MD dalam bukunya The Joy of Fatherhood (Three River Press, UK, 2000) memang menegaskan soal kedekatan hubungan antara ibu dan bayi, terutama bila bayi sedang menyusu. Pemandangan ini membuat ayah tidak yakin apakah si bayi memerlukannya. Untungnya, ayah zaman sekarang tahu persis cara yang tepat untuk mendekatkan diri pada buah hatinya, yakni dengan berani menggendong, mencium dan membelai si kecil.


Mitos 2: Ayah tidak tahu cara merawat anak.

Fakta: Dr. Henry Cloud dan Dr. John Townsend lewat bukunya Raising The Great Children (Zondervan, UK, 1998) mengatakan para ibu tak perlu khawatir karena pada kenyataannya ayah dapat merawat anak-anak sama baiknya dengan ibu karena semua ayah sebenarnya secara naluriah dikaruniai kemampuan untuk merawat anaknya. Tentu saja, seperti halnya ibu, ayah juga butuh waktu untuk belajar merawat buah hatinya, terutama ketika si kecil baru lahir. Ingat, para ayah juga butuh referensi agar terbiasa dengan perannya.


Mitos 3: Ayah yang penuh perhatian pada anak biasanya tak konsentrasi di jalur kariernya.

Fakta: Pria dibesarkan dan dididik untuk bekerja. Pekerjaan menjadi salah satu kunci dari rasa percaya diri mereka. Sayangnya, masyarakat menilai pria yang mengorbankan hidupnya dan lebih memilih keluarga daripada kariernya adalah mereka yang tidak sukses dalam pekerjaannya. Padahal menurut Cloud dan Townsend (1998), kini zaman sudah berubah. Banyak pria yang sangat menikmati perannya sebagai ayah. Peran ini sedemikian berarti dan meningkatkan status ayah. Perubahan status ayah ini justru dirasakan sebagai pemicu untuk lebih sukses dalam karier sehingga kian banyak kebutuhan anak yang dapat terpenuhi.


Mitos 4: Pola asuh ayah akan sama dengan ayahnya dulu.

Fakta: Tidak dapat dipungkiri bahwa pola asuh yang didapatnya dulu akan memberi banyak masukan ketika seorang pria menjadi ayah. Contohnya, dalam merawat anak. Biasanya pria akan mengikuti cara ayahnya dulu ketika sang ayah membesarkannya. Wajar-wajar saja kan? Tapi pria sekarang juga berusaha menciptakan identitas dirinya sendiri sebagai seorang ayah. Pola asuh sang ayah dulu bukan lagi menjadi satu-satunya contoh. Para ayah modern kini berani mencontoh dan melihat role model dari media massa, lingkungan sosial, dan buku-buku pengasuhan. Para ayah ini berani memilih yang terbaik bagi keluarganya dengan mengambil sisi positif dari keluarga dimana dulu dia dibesarkan untuk menambahkan hal-hal positif yang menurutnya baik. Demikian yang ditegaskan Daniel N. Hawkins, Paul R. Amato, Valarie King (2006) dalam “Parent-Adolescent Involvement: The Relative Influence of Parent Gender and Residence” dalam Journal of Marriage and Family.


Mitos 5: Ayah tak mau mengorbankan pekerjaannya meski demi anak-anak.

Fakta: Dulu, ayah dianggap tidak pantas bila harus keluar dari pekerjaannya. Kini, pasangan modern semakin realistis. Bila karier ibu lebih maju, bisa saja ayah dengan sukarela meninggalkan pekerjaannya untuk mengurus rumah dan anak-anak. Lagi pula banyak pekerjaan zaman sekarang yang bisa dilakukan di rumah oleh para ayah, semisal menjadi konsultan ataupun penulis. Hal ini dinyatakan Koray Tanfer dalam bukunya,The Meaning of Fatherhood. (Whitaker Aguse, UK, 2002)


Mitos 6: Ayah hanya meluangkan sedikit waktu bersama anak-anaknya.

Fakta: Penelitian yang dilakukan Richard Lamb (2002) di Amerika terhadap 3.500 ayah berusia 25-45 tahun membuktikan hal sebaliknya. Kini, semakin banyak ayah yang bersedia meluangkan sebanyak mungkin waktu bersama anak-anaknya. Ketersediaan waktu tersebut diwujudkan dalam bentuk keterlibatan dalam pengasuhan anak, berinteraksi dengan anak dalam jarak dekat (ketika di rumah) maupun jarak jauh (memantau dari kantor) serta menemani anak belajar. Para ayah menyadari bahwa anak-anak berhak mendapatkan waktu lebih banyak, sama banyaknya dengan waktu yang disediakan ibu. Lamb juga mengemukakan ketersediaan waktu juga mampu disediakan ayah bagi anak gadisnya, sama besar porsinya dengan yang disediakan bagi anak lelakinya.


Mitos 7: Ayah tunggal pasti tak mampu mengasuh anak-anaknya.

Fakta: Ayah tunggal, entah karena perceraian ataupun kematian, kini banyak yang betul-betul siap mengasuh anak-anaknya sendirian. Mereka dengan terampil dan up to date mampu menyiapkan kebutuhan anak-anaknya dan mendidik mereka. Di Indonesia, menjadi ayah tunggal mungkin terbantu dengan banyaknya uluran tangan dari kerabat dekat. Toh di luar negeri pun seperti dikemukakan oleh Terry Arrendell dalam “Divorce: It’s a Gender Issue,” American Bar Association Family Advocate, Vol. 17, bahwa ayah zaman sekarang tampaknya tak canggung sendirian membesarkan anak-anaknya.


Mitos 8: Peran ayah tidak berubah selama dua dekade.

Fakta: Salah besar bila mengatakan peran ayah stagnan alias tak mengalami peningkatan. Nyatanya, temuan Louise B. Silverstein dan Carl F. Auerbach dalam artikelnya “Deconstructing the Essential Father” yang dimuat dalam Journal of American Psychologist, Vol.54, menyatakan begitu banyak peran tradisional yang dulu dipegang ibu, kini tak sungkan diambil alih oleh ayah. Kecuali hamil, melahirkan dan menyusui, ayah semakin jauh terlibat dalam kehidupan si anak. Coba saja perhatikan, para ayah ini menemani bermain, mendampingi belajar, makan bersama, bahkan menyiapkan makanan untuk anak-anaknya.


Mitos 9: Ayah tidak dapat menggantikan peran ibu bagi anak perempuan.

Fakta: Apa pun jenis kelamin anaknya, ayah mampu menjadi role model yang tepat. Jangan dikira ayah tak mampu bermain dengan anak perempuan. Karena untuk membentuk ketangguhan fisiknya, anak perempuan pun memerlukan permainan yang mengasah motorik kasar seperti melompat atau berlari dan biasanya ayahlah yang selalu siap untuk menemani anak-anak dalam permainan jenis ini. Bagi anak lelaki, ayah menjadi contoh bagaimana berperilaku dan bersikap sebagai seorang gentleman. Sedangkan bagi anak perempuan, ayah merupakan contoh yang dekat dan sehat bagaimana dunia lelaki yang sesungguhnya sehingga anak perempuan tidak akan canggung ketika kelak menghadapi lawan jenisnya dalam pergaulan sosial. Demikian yang dikupas Piere Bronstein & C. P. Cowan dalam Fatherhood Today: Mens Changing Role In the Family. John Wiley & Sons, New York, 2002.


Mitos 10: Ayah hanya berkutat pada soal disiplin.

Fakta: Ayah memang sering dicitrakan sebagai pribadi kaku yang hanya mengedepankan soal disiplin dan keteraturan bagi anak-anaknya. Padahal sebenarnya, seperti yang disebut M.Y. Yogmen & Dwight Kindlon dalam bukunya Fathers, Infants and Toddlers (Harpers Parenting, New Jersey, 1998), ayah juga mampu bersikap hangat kepada anak-anak. Kehangatan itu ditunjukkannya dalam bentuk bermain bersama, menyiapkan makan malam bersama ibu dan menemani anak-anak belajar. Ayah modern justru enggan mencitrakan dirinya sebagai sosok yang dingin yang disegani dan dijauhi anak-anaknya.

disadur dari : Informasi